Real Madrid tidak memulai musim ini dengan buruk dari sisi hasil, namun ada satu hal yang jauh lebih penting yang hilang — stabilitas. Tim masih terus memenangkan pertandingan, tetapi kontrol, konsistensi, dan dominasi tidak lagi terasa terjamin. Satu momen memperlihatkan masalah mendasar ini dengan sangat jelas: kekalahan telak dari Paris Saint-Germain di ajang Piala Dunia Antarklub (0–4).
Pertandingan tersebut tidak menciptakan krisis — tetapi justru mengungkapkannya.
Era Ancelotti: Kebebasan, Pengalaman, dan Kekacauan yang Terkontrol
Di bawah Carlo Ancelotti, Real Madrid beroperasi dengan prinsip yang sederhana namun sangat efektif: kebebasan maksimal bagi para pemain kunci. Para pemain senior dipercaya untuk mengambil keputusan di atas lapangan, sementara batasan taktis sering kali sangat minim.
Pendekatan ini berhasil, terutama di Liga Champions. Real Madrid kerap memenangkan pertandingan meskipun kalah secara statistik, dengan mengandalkan gol-gol di menit akhir, kualitas individu, dan momentum emosional. “Keajaiban” malam-malam Eropa di Santiago Bernabéu pun menjadi ciri khas utama identitas tim.
Namun, model seperti ini tidak bisa bertahan selamanya. Model tersebut sangat bergantung pada performa, kepercayaan diri, dan sedikit keberuntungan — dan pada akhirnya keseimbangan itu pasti akan runtuh.
Arsenal: Akhir dari Ilusi
Momen yang benar-benar mengakhiri era ini terjadi pada perempat final Liga Champions musim lalu. Arsenal menghancurkan Real Madrid dengan agregat 5–1, sekaligus memperlihatkan batas dari ketergantungan Madrid pada kebebasan dan kualitas individu.
Arsenal tidak menang karena momen-momen ajaib. Mereka menang melalui struktur, intensitas, dan disiplin kolektif — sebuah sistem yang dirancang untuk mendominasi setiap fase permainan. Duel tersebut bukan sekadar eliminasi, melainkan peringatan bahwa sepak bola elit modern tidak lagi menghargai kekacauan.
Xabi Alonso dan Peralihan Menuju Struktur
Kedatangan Xabi Alonso menandai perubahan filosofi yang sangat jelas. Berbeda dengan Ancelotti, Alonso memprioritaskan struktur, disiplin posisi, dan kontrol ruang. Visinya adalah mengubah Real Madrid menjadi tim yang mendominasi melalui organisasi, bukan improvisasi.
Namun, transisi sebesar ini jarang berjalan mulus.
Para pemain yang terbiasa dengan kebebasan harus beradaptasi dengan peran yang ketat, pressing yang terkoordinasi, dan tanggung jawab taktis. Kebiasaan lama berbenturan dengan tuntutan baru, sehingga menciptakan ketegangan baik di dalam maupun di luar lapangan.
Vinícius Jr.: Simbol Konflik Internal
Situasi Vinícius Jr. telah menjadi cerminan dari transisi yang lebih luas di tubuh Real Madrid. Negosiasi kontrak masih belum menemui kejelasan, dengan pemain asal Brasil tersebut menuntut gaji yang mencerminkan status bintang kelas atas, sementara klub masih ragu untuk mengubah hierarki gaji.
Pada saat yang sama, pengaruhnya di atas lapangan juga berubah. Pergantiannya dalam laga El Clásico — yang diikuti dengan ekspresi frustrasi yang terlihat jelas — menjadi simbol sulitnya proses adaptasi dari kebebasan menuju struktur dalam sistem Xabi Alonso.
Mbappé dan Hierarki Baru
Kehadiran Kylian Mbappé semakin mempercepat perubahan ini. Penyerang asal Prancis tersebut mencetak gol, mengambil tanggung jawab, dan tampil konsisten dalam momen-momen krusial. Secara alami, ia kini menjadi pusat dari proyek tim.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Vinícius tidak lagi menjadi wajah utama Real Madrid. Peralihan kepemimpinan dari satu bintang ke bintang lainnya telah mengubah keseimbangan emosional di dalam skuad — dan proses adaptasi terhadap perubahan ini membutuhkan waktu.
Tim di Antara Dua Era
Real Madrid tidak sedang mengalami kemunduran. Mereka berada dalam fase transisi. Skuad tetap dipenuhi oleh pemain-pemain kelas dunia, namun kekompakan dan kejelasan permainan masih terus berkembang.
Sampai Xabi Alonso sepenuhnya membangun strukturnya dan para pemain benar-benar berkomitmen terhadap sistem tersebut, inkonsistensi akan tetap menjadi bagian dari proses. Tantangannya bukan bersifat teknis — melainkan psikologis.
Pelajaran dari Manchester City
Pertandingan terbaru melawan Manchester City dengan sempurna menggambarkan arah yang diambil sepak bola modern. Kemenangan tidak lagi menjadi milik tim yang mengandalkan keberuntungan atau momen individu semata, melainkan milik tim yang dibangun atas kecerdasan kolektif dan disiplin taktis.
Manchester City menang melalui struktur permainan yang solid, pressing terkoordinasi, dan kontrol ruang secara total. Setiap pemain bergerak sebagai bagian dari sistem, bukan sebagai individu yang mencari solusi sendiri.
Bagi Real Madrid, ini adalah pesan yang sangat jelas. Era bertahan hidup dengan mengandalkan keajaiban telah berakhir. Untuk bersaing secara konsisten dengan tim-tim paling terorganisir di Eropa, Madrid harus sepenuhnya menerima transisi dari kebebasan menuju struktur — persis seperti proses yang sedang dibangun oleh Xabi Alonso.


